“Bagaimana jika kau menulis tentang keseharian di kantor?” tanyanya.
“Apa yang ingin kau ceritakan sebagai orang kantoran, karena ku dengar menulis dapat mengatasi trauma”, sambungnya.

     Temannya mendengarkan, cegukan yang dialaminya terasa lebih menyusahkan daripada menjawab pertanyaan yang terasa seperti sindiran.

“Sebagai orang kantoran, kau saja yang menulis; aku mendikte, hm”, cegukan menghentikan kalimatnya.

“Semangatnya; tekanannya; ketika memperoleh gaji; menjalani tugas yang merepotkan; mengerjakan pekerjaan atasan. Ah, harusnya kau sedikit-banyaknya paham, kau kan pernah jadi orang kantoran juga”.

“Aku hanya sebentar, tidak sampai setahun”, timpalnya.

     Sebagai kawan karib ia menjabarkan dengan seksama, hingga rincian-rincian yang di rasa tidak penting. Tangannya bergerak lincah meliukan pena di atas kertas A4, telinganya terpasang dengan baik.

“Ini! Bagaimana?” ia menyodorkan hasil tulisannya untuk diperlihatkan. Sebuah rangkuman mirip cerpen. Dia membaca tulisan itu baik-baik.

Tiga bulan pertama aku hanya mempelajari kebiasaan kolega. Mereka seenaknya meletakan barang-barang tidak penting di atas meja kerjaku. Orang di kantor sangat ramah, mereka memperkenalkanku pada setiap staf yang  ada di perusahaan. Bos juga sangat ramah. Namun rasa iri tidak pernah ketinggalan kereta, maka tidak heran kadang ada yang saling menjatuhkan.
Bos mempunyai kebiasaan mengerikan di waktu pemberian bonus tiba. Jika ia datang ke kantor, biasanya ia menendang pintu dengan keras. Aku berdiri di balik pintu, dan hari bonusku tidak turun. Aku cukup jengkel. Mendadak pintu terbuka dengan keras, mengejutkanku yang sedang lesu. Keterkejutan mematik emosi, aku segera menendang pintu kea rah berlawanan. Terdengar suara erangan dari balik pintu. Ku buka pintu, ternyat bosku tergeletak. Aku memeriksa denyut nadinya, aku baru insaf bahwa si bos mempunyai riwayat penyakit jantung. Aku berdiri dan memperhatikan atasanku yang telah tidak bernyawa’.

     Ia berdiri dan memperhatikan atasannya yang telah tidak bernyawa. Ia menggenggam secarik kertas A4.

Komentar